SURABAYA – Hingga akhir abad ke-19 terdapat 25 sekolah Tionghoa di Surabaya. Jumlah murid 551 orang. Semua sekolah itu menggunakan bahasa Hokkian sebagai bahasa pengantar.
Shinta Devi ISR, pakar Tionghoa dari Universitas Airlangga, menyebutkan sebagian besar guru yang mengajar di sekolah-sekolah Tionghoa itu berasal dari kelompok totok. Mereka berorientasi pada budaya dan negeri leluhur di Tiongkok.
“Mereka juga punya keinginan kuat untuk pulang ke Tiongkok,” kata Shinta Devi.
Kurikulum sekolah-sekolah Tionghoa itu juga menekankan adat istiadat Tionghoa dan ajaran Khonghucu. Murid-murid sekolah berbahasa Hokkian itu juga ditekankan untuk menghafal kitab-kitab klasik Tiongkok.
Dalam kajiannya, Shinta juga menyebutkan para guru saat itu hanya menggunakan satu buku pegangan untuk mengajar membaca dan menulis Tionghoa. Yakni Sam Djio Keng atau buku tiga huruf.
“Pelajaran berhitung dengan sempoa baru diberikan di sekolah lanjutan,” kata Shinta.
Lulusan sekolah-sekolah Tionghoa ini dianggap mengecewakan para orang tua. Sebab kemampuan bahasa Hokkian para siswa kurang bagus. Apalagi anak-anak itu lebih sering berbahasa Melayu di luar sekolah.
Pada 1902 berdiri lagi sekolah Ik Joe Hak Kwan di Jalan Kapasan. Juga berbahasa Hokkian. Sekolah tersebut berdiri atas usaha Lauw Tan Ik tokoh Tionghoa peranakan di Surabaya.
Selain sekolah-sekolah Hokkian, menurut Shinta, pada awal abad ke-20 di Surabaya bermunculan kursus bahasa Hokkian untuk orang dewasa. Tio Siek Giok, salah seorang tokohnya, mewajibkan anggotanya berbicara dalam bahasa Hokkian. Tidak boleh campur dengan bahasa Melayu.
“Mereka yang ketahuan melanggar aturan tersebut dapat hukuman berupa denda,” kata Shinta. (rek)