27.8 C
Surabaya
Thursday, June 8, 2023

Bungkul Pernah Dapat Privilege Bebas Pajak

SURABAYA – Dalam prasasti Trowulan atau Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk meriwayatkan beberapa desa yang mendapat keistimewaan bebas pajak, mendapat akses ke kerajaan, serta bebas melaksanakan ibadah.

Menurut pengamat sejarah Adrian Perkasa, desa-desa yang bebas pajak itu terletak di daerah aliran sungai besar Jawa Timur, seperti Brantas dan Bengawan Solo. Selain itu, warga di desa tersebut juga wajib melaksanakan ibadah tepat lima waktu. Hal itu mengindikasikan bahwa Islam sudah ada di daerah Bungkul sejak masa kejayaan Majapahit pada kekuasaan Hayam Wuruk.

“Jadi Ki Ageng Bungkul sebagai penguasa punya peran istimewa sehingga bisa mendapatkan privilege bebas pajak pada masa kejayaan Majapahit,” kata Adrian.

Pada masa itu, ia menyebut letak geografis Bungkul yang strategis dan dekat dengan aliran sungai memicu berbagai keuntungan. Dari sisi ekonomi, sebelum dibangunnya jalur darat oleh Daendels, sungai merupakan kawasan strategis ekonomi karena menjadi jalur utama aktivitas perdagangan.

Baca Juga :  Pakuncen alias Juru Kunci Makam Keramat di Surabaya

“Secara religi, daerah Bungkul sangat strategis dalam persebaran ajaran Islam, hal itu bisa dilihat dari keberadaan legenda yang menyebutnya sebagai mertua Sunan Giri, serta adanya makam Adipati dan Demang dalam kompleks makam Mbah Bungkul tersebut,” terangnya.

Menurutnya, dalam legenda tidak diketahui dengan jelas bagaimana kisah Mbah Bungkul memeluk Islam dan bagaimana ia menyebarkan ajaran Islam di Surabaya. Namun diketahui bahwa Mbah Bungkul mengadakan sebuah sayembara untuk mencari menantu dengan melarung buah delima.

”Saat sayembara, akhirnya larung delima itu didapatkan oleh Raden Paku atau Sunan Giri, yang merupakan tokoh Wali Songo paling terkenal,” jelas Adrian.

Ia menambahkan, legenda lain juga menyebutkan bahwa Mbah Bungkul berkaitan dengan tokoh Empu Supo yang dalam tradisi legenda dikenal sebagai pembuat pusaka. “Jika melihat para komunitas empu pembuat keris dan pusaka yang masih ada saat ini, mereka banyak mengisbatkan ajarannya berasal dari Empu Supo,” imbuhnya.

Baca Juga :  GKI Diponegoro Pernah Pinjam Gereja Anglikan di Surabaya

Namun hampir seluruh daerah pesisir utara Jawa Timur menyebutkan adanya makam Empu Supo di daerahnya, seperti Lamongan dan Tuban. Sehingga belum jelas kebenaran terkait Mbah Bungkul dan Empu Supo sebagai orang yang sama. (rmt/nur)

SURABAYA – Dalam prasasti Trowulan atau Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk meriwayatkan beberapa desa yang mendapat keistimewaan bebas pajak, mendapat akses ke kerajaan, serta bebas melaksanakan ibadah.

Menurut pengamat sejarah Adrian Perkasa, desa-desa yang bebas pajak itu terletak di daerah aliran sungai besar Jawa Timur, seperti Brantas dan Bengawan Solo. Selain itu, warga di desa tersebut juga wajib melaksanakan ibadah tepat lima waktu. Hal itu mengindikasikan bahwa Islam sudah ada di daerah Bungkul sejak masa kejayaan Majapahit pada kekuasaan Hayam Wuruk.

“Jadi Ki Ageng Bungkul sebagai penguasa punya peran istimewa sehingga bisa mendapatkan privilege bebas pajak pada masa kejayaan Majapahit,” kata Adrian.

Pada masa itu, ia menyebut letak geografis Bungkul yang strategis dan dekat dengan aliran sungai memicu berbagai keuntungan. Dari sisi ekonomi, sebelum dibangunnya jalur darat oleh Daendels, sungai merupakan kawasan strategis ekonomi karena menjadi jalur utama aktivitas perdagangan.

Baca Juga :  Dinoyo, Jalan Antarkota Tertua di Surabaya yang Jadi Barak Kavaleri

“Secara religi, daerah Bungkul sangat strategis dalam persebaran ajaran Islam, hal itu bisa dilihat dari keberadaan legenda yang menyebutnya sebagai mertua Sunan Giri, serta adanya makam Adipati dan Demang dalam kompleks makam Mbah Bungkul tersebut,” terangnya.

Menurutnya, dalam legenda tidak diketahui dengan jelas bagaimana kisah Mbah Bungkul memeluk Islam dan bagaimana ia menyebarkan ajaran Islam di Surabaya. Namun diketahui bahwa Mbah Bungkul mengadakan sebuah sayembara untuk mencari menantu dengan melarung buah delima.

”Saat sayembara, akhirnya larung delima itu didapatkan oleh Raden Paku atau Sunan Giri, yang merupakan tokoh Wali Songo paling terkenal,” jelas Adrian.

Ia menambahkan, legenda lain juga menyebutkan bahwa Mbah Bungkul berkaitan dengan tokoh Empu Supo yang dalam tradisi legenda dikenal sebagai pembuat pusaka. “Jika melihat para komunitas empu pembuat keris dan pusaka yang masih ada saat ini, mereka banyak mengisbatkan ajarannya berasal dari Empu Supo,” imbuhnya.

Baca Juga :  Pakuncen alias Juru Kunci Makam Keramat di Surabaya

Namun hampir seluruh daerah pesisir utara Jawa Timur menyebutkan adanya makam Empu Supo di daerahnya, seperti Lamongan dan Tuban. Sehingga belum jelas kebenaran terkait Mbah Bungkul dan Empu Supo sebagai orang yang sama. (rmt/nur)

Most Read

Berita Terbaru