KEBERADAAN Rukun Tetangga (RT) yang memimpin suatu wilayah ternyata sudah ada sejak abad 19 di Surabaya. Ketika itu satu wilayah hanya memiliki satu RT. Tugas ketua RT pun sangat luas, karena RW belum ada ketika itu.
Nama ketua RT masih menggunakan kepala dukuh atau kepala kampung atau biasa disebut mantri. Pegiat sejarah, Nur Setiawan mengatakan, kepala kampung biasanya turun temurun. Karena silsilah keluarga yang mempunyai pengaruh sehingga warga mendaulatnya menjadi pemimpin. “RT sejak dulu sudah ada sekitar tahun 1919, bahkan dirasa sejak era klasik pemimpin kampung (RT) sudah ada,” kata Nur.
Di era Belanda, ketua RT merupakan bagian dari non pemerintahan. Namun itu dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menjadi antek penjajah. Sehingga mereka tak sedikit yang menjadi mata-mata dari Belanda. “Ada yang nakal juga memanfaatkan uang dari Belanda sehingga menjadi mata-mata Indonesia. Sehingga mereka (oknum RT) dimusuhi oleh pribumi,” ujarnya.
Ketua RT dahulu memang tidak dibayar, tugas mereka besar dan berat. Mulai dari mengurusi pernikahan, kematian, menjadi penengah ketika ada pertikaian. “Bahkan ketua RT juga mengontrol lumbung padi hingga mengurusi ternak peliharaan,” ujarnya.
Namun saat Jepang masuk tahun 1942 – 1945 keorganisasian RT menjadi berkembang dengan ditambahkannya RW. Zaman Jepang RT dan RW disebut dengan tonarigumi yang berarti sebelah atau tetangga, sedangkan gumi berarti kumpulan atau kerukunan.
Ketika itu, Jepang menata kawasan agar tidak terlalu luas saat dipimpin. Sehingga RW dibentuk. “Kalau era Belanda tugas RT ya satu RW, tapi ketika zaman Jepang berkuasa dibentuklah RW untuk membantu tugas RT yang ketika itu cakupan tugasnya terlalu luas,” jelas Nur.
Hingga kini keberadaan RT dan RW masih ada di Surabaya. Bahkan jabatannya menjadi prestisius karena mendapatkan gaji per bulan dengan masa jabatan lima tahun. (rmt/nur)