SURABAYA – Ada beberapa jalan di kawasan kota lama Surabaya yang kurang dikenal masyarakat. Padahal, jalan itu sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Selain jalan yang sangat pendek, hanya 100-an meter, jalan-jalan tua itu jarang dilalui masyarakat umum.
Saya pernah ngetes delapan orang yang bekerja di kawasan Kembang Jepun, Jalan Karet, Nyamplungan, Kalimas Timur, hingga Jalan Bibis. Di mana Jalan Kalimalang?
Hasilnya, cuma ada dua orang yang tahu. Taufik, anak Madura penjual kopi di pojokan Jalan Karet, sangat paham Kalimalang. “Ini kan Jalan Kalimalang. Di tempat saya berdiri ini,” kata Taufik yang punya warkop giras plus juru parkir di samping kantor SPIL.
“Aku gak pernah dengar Jalan Kalalang,” kata seorang karyawan di Kembang Jepun.
Lelaki ini memang tidak pernah dengar dan baca plang Jalan Kalimalang. Sebab, memang tidak ada plang papan nama jalan seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Kalimati, Jalan Dukuh, Nyamplungan dsb.
Yang pasti, saban hari kerja ia melintas dengan sepeda motornya lewat Jalan Kalimalang. Persis di belokan Jalan Kembang Jepun dan Jalan Karet itulah Jalan Kalimalang. Entah mengapa tidak ada plang Jalan Kalimalang sejak dulu.
Banyak sekali orang Surabaya yang tidak akrab dengan Kalimalang. Hanya orang lawas di Surabaya Utara yang tak asing dengan pabrik es Kalimalang. Bangunan bekas pabrik es itu kini mangkrak.
Tidak jauh dari Jalan Kalimalang, ada Jalan Teh. Pada zaman Hindia Belanda disebut Theestraat. Letaknya persis pertigaan Jalan Gula di sisi utara dan Jalan Cokelat (Topekong) di sisi selatan. Panjangnya juga hampir sama dengan Kalimalang.
Jalan Karet (d/h Petjinan Kulon) sudah pasti sangat terkenal. Semua pengendara jelas lewat di situ kalau mau ke pecinan Kembang Jepun, Jembatan Merah, Kalimati, Pabean, Nyamplungan, Ampel, dan sebagainya.
Jalan Gula juga terkenal karena jadi spot foto anak-anak milenial yang senang uji nyali, bangunan tempo doeloe mangkrak, urban mistery, dan sejenisnya. Anehnya, tidak ada yang berbelok sejenak ke Jalan Teh.
Yang jelas, hampir tidak ada pengendara motor melintas di Jalan Teh. Apalagi pengguna mobil pribadi. Yang ada cuma truk-truk ekspedisi. Bongkar muat sangat ramai di Jalan Teh.
“Dulu lebih ramai lagi. Sekarang sudah sepi karena banyak gedung yang tutup,” kata Fatma, orang Bangkalan yang buka warung di Jalan Teh.
Selain Fatma, ada lagi tiga warung kopi di Theestraat, nama lawas Jalan Teh. Ada yang tidur di bangunan semipermanen yang nempel di gedung tua.
Tidak ada informasi atau cerita di laman internet tentang Jalan Teh. Beda dengan Jalan Karet, Cokelat, Gula, Bongkaran, Bibis, Slompretan, Kembang Jepun, Pabean, atau Nyamplungan.
Saya hanya menemukan sepotong informasi dari koran Soeara Publik edisi 11 Desember 1925. Berita pendek tentang kepindahan kantor Singer Sewing Engine Coy dari Theestraat ke Aloon-Aloon Tjontong. Direktur mesin jahit itu bahkan datang dari New York, Amerika Serikat, ke Surabaya untuk melihat kantor yang baru.
Sampai sekarang pun masih ada beberapa bangunan yang dipakai untuk usaha tekstil. Bangunan di pojok, besar sekali, milik tuan pengusaha berdarah India.
Kantor Yayasan Sosial Gotong Royong di Jalan Teh Nomor 5 sudah mangkrak 20-an tahun. Fatma bilang kantor itu sudah pindah ke kawasan lain. “Dulu ada ambulans dan kantornya selalu ramai, acara makan-makan tiap minggu,” kata Fatma van Madoera.
Kalau bangunan tua di dalam warung Sampean itu kantor apa?
“Itu semacam kelentengnya orang Tionghoa. Sudah lama tutup juga. Cuma buka sekali-sekali saja kalau ada keluarga ahli waris yang datang,” kata Fatma.
Oh, ternyata Rumah Sembahyang Keluarga Tjoa di Jalan Karet itu sangat luas. Pagar belakang, sekalian jalan masuk dari pintu belakang, tembus ke Jalan Teh. (rek)