SURABAYA – Jalan Nyamplungan, Pegirian dan KH Mas Mansyur dulu disebut wilayah segitiga emas Surabaya. Karena kawasan tersebut menjadi lalu lintas perdagangan, terutama bagi barang-barang yang datang dari mancanegara yang melalui jalur laut.
Pustakawan sejarah Chrisyandi Tri Kartika mengatakan, tahun 1820 merupakan tonggak sejarah meningkatnya pendatang dari Hadharim (Arab asal Yaman Selatan) ke Pulau Jawa. “Jadi dulu kawasan segitiga emas menjadi jujukan orang-orang Arab, terutama yang akan berdagang maupun juga akan masuk ke kawasan religi Ampel untuk menimba ilmu,” katanya.
Kawasan segitiga emas banyak bangunan yang rata-rata dipengaruhi oleh pendatang. Bangunan tersebut hingga kini masih tampak terawat sehingga bisa ditempati dan beberapa ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Selain itu, perlu juga keterlibatan masyarakat juga untuk menjaga dan merawat bangunan cagar budaya sehingga ada sinergi antara masyarakat, pemilik bangunan dan pemkot Surabaya. “Bangunan-bangunan kota lama kebanyakan dibuat untuk berdagang, mereka masyarakat (pemilik bangunan) hanya fokus dalam berdagang namun membiarkan bangunan ini menjadi tidak terawat padahal itu nilai sejarahnya tinggi dan sangat luar biasa,” ujarnya.
Sementara itu Pegiat Sejarah Nur Setiawan mengatakan, kawasan segitiga emas di Surabaya terdapat di kawasan Pabean, Kembang Jepun, dan Kapasan. Karena kawasan tersebut menjadi pusaran ekonomi dan perdagangan. “Jadi produsen, distributor, tengkulak hingga konsumen ada di Pabean, Kembang Jepun dan Kapasan,” katanya.
Ia menjelaskan sebutan segitiga emas ini muncul karena uraian dari pemerhati, sejarawan dan ekonom. “Dulu nggak ada sebutan segitiga emas. Karena itu uraian saja dari pemerhati, sejarawan dan ekonom,” jelasnya. (rmt/nur)