SURABAYA – Sebuah patung yang berdiri di depan gedung Grahadi merupakan salah satu simbol sejarah Jawa Timur. Patung tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada Gubernur Jatim pertama, Raden Mas Tumenggung (RMT) Ario Soerjo atau lebih dikenal dengan sebutan Gubernur Suryo.
RMT Ario Soerjo menjabat sebagai Gubernur Jatim pada rentang periode tahun 1945-1948. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai Bupati Magetan dari tahun 1938 hingga tahun 1943.
Pada zaman Jepang RMT Ario Soerjo adalah Residen Bojonegoro. “Beliau juga dikenal sebagai pahlawan nasional,” ujar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Gubernur Soerjo, lanjut Khofifah, semasa hidupnya dikenal sebagai sosok pemimpin pemberani dan tegas. Keberaniannya tersebut terlihat saat sekutu memberi ultimatum kepada seluruh rakyat Surabaya untuk menyerah pada 10 November 1945.
Khofifah menambahkan, Gubernur Soerjo berani menolak mentah-mentah ultimatum tersebut dan memilih berperang melawan sekutu. Sekian waktu berlalu, tanggal 10 November lantas diperingati sebagai Hari Pahlawan.
“Gubernur Soerjo telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan namanya pun diabadikan sebagai nama jalan utama di depan Gedung Negara Grahadi. Oleh sebab itu wajib kita teladani jasa beliau dan para pahlawan nasional lainnya, tentu sesuai dengan tantangan zaman yang kita hadapi saat ini,” katanya.
Gubernur Soerjo asli Magetan, lahir 9 Juli 1898. Lulus OSVIA yang pernah jadi mantri polisi di zaman kolonial. Menjelang akhir masa pendudukan Jepang, Soerjo terpilih menjadi salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, RMT Soerjo diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur. Situasi saat itu di Surabaya menuntutnya untuk bersikap.
Tak lama setelah dilantik, Gubernur Soerjo dihadapkan dengan situasi yang mencekam setelah perang Surabaya yang berlangsung beberapa hari pada akhir Oktober 1945. Situasi genting itu terjadi ketika salah satu pemimpin tentara Inggris yakni Jenderal AWS Mallaby terbunuh di depan gedung Internatio (markas pasukan Sekutu) di kawasan Jembatan Merah, 31 Oktober 1945.
Gubernur Soerjo meninggal dunia setelah diculik, disiksa dan dibunuh oleh gerombolan PKI pimpinan Maladi Jusuf dari Madiun. Saat melintas di kawasan hutan Walikukun, Ngawi, mobil Gubernur Soerjo yang didampingi dua orang polisi yakni Kombespol M Doeryat dan Komisaris Polisi Soeroko dicegat dan penumpangnya diculik oleh sisa-sisa pasukan PKI yang sedang menyingkir dari kawasan Madiun usai dipukul mundur oleh TNI dalam pemberontakan Madiun 1948.
Saat itu, rombongan Gubernur Soerjo dalam perjalanan pulang usai menghadiri upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1948 di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota negara Republik Indonesia Serikat. (mus/nur/jay)