Surabaya – Radar Surabaya tertarik mendatangi komunitas anak indigo. Di sebuah kafe di Jalan Petemon Barat, akhir Juni lalu, akhirnya Radar Surabaya membuka forum dengan Kenzo, Ony, Gatot, dan juga Desi yang tergabung ke dalam Prana Indigo Nusantara.
Gatot, salah saorang pengurus komunitas ini menyampaikan bahwa anak indigo adalah anak-anak yang memiliki aura ungu di sekitarnya. Indigo bukanlah pemberian dari leluhur atau yang biasa orang Jawa kenal dengan ditempeli ilmu, namun murni pemberian Tuhan. Aura ungu inilah yang mebuat anak-anak indigo sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. “Kalau sudah usia seperti kita ini (dua puluh ke atas, Red), bukan lagi dinamakan anak indigo. Melainkan kewaskitaan,” ungkap Gatot.
Ia memaparkan, anak indigo memiliki kemampuan lebih yang tidak dimiliki orang lain. Mereka biasanya lebih peka. Dalam artian bisa melihat hal-hal gaib, introvert dan juga memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan anak lain. “Jadi indigo tidak selalu identik dengan bisa melihat yang gaib saja. Tapi bisa flashback, melihat masa depan, bisa menyembuhkan dan lain sebagainya,” urainya.
Gatot menambahkan, masing-masing anggotanya memiliki kemampuan berbeda. Seperti Kenzo yang memiliki kemampuan scanning atau melihat keberadaan orang, Ony, memiliki kemampuan menyembuhkan luka, dan Gatot yang memiliki kemampuan membaca tarot dan lain sebagainya.
“Kepekaan-kepekaan seperti ini bisa dikembangkan dengan melakukan meditasi dan memperdalam energi kita,” sambung Gatot.
Ia menegaskan, anak indigo sama sekali berbeda dengan dukun. Jika dukun bekerja dengan dibantu sesuatu yang lain dari luar diri, maka anak indigo memiliki kemampuan yang murni mereka peroleh dari Tuhan. Untuk itulah, mereka mendirikan komunitas sebagai wadah bagi orang dengan kemampuan dan pengalaman yang sama, untuk sharing sehingga tidak terjerumus ke dalam hal yang berbau klenik. “Indigo bukan klenik, juga bukan dukun. Kita hanya lebih peka dibanding dengan yang lain,” imbuh Ony.
Komunitas ini sangat aktif melakukan kegiatan. Mereka selalu berkumpul satu minggu dua kali setiap Rabu dan Sabtu untuk sharing pengalaman masing-masing. Memperpeka perasaan dengan meditasi bersama, sowan kepada leluhur dan sempat juga memberikan seminar-seminar kepada orang indigo di Surabaya. “Tak disangka, banyak juga yang tertarik untuk datang melihat seminar kami. Mereka bahkan sampai menangis karena ada komunitas yang sebenarnya sama dengan mereka dan mau berbagi,” ujarnya.
Gatot menambahkan, adanya komunitas ini juga sebagai wadah kepada orang yang memiliki nasib yang sama, agar lebih terarahkan dan tidak mengalami kejadian pahit seperti yang ia alami semasa kecil. “Dulu, waktu kecil saya pahit sekali. Anak indigo kan lebih peka dibanding dengan yang lain. Maka dari itu kami selalu menyampaikan apa pun yang kita rasakan. Ternyata hal itu bagi orang lain dianggap aneh. Beberapa kali kita sempat dianggap gila, beruntung Kenzo memiliki teman berbagi dan ibu yang pengertian, sehingga tak sampai hilang arah seperti saya dulu,” urai Gatot.
Di akhir pertemuan, Desi meminta Gatot untuk memainkan kartu tarotnya. Ia ingin menebak pasangan calon gubernur mana yang akan menang di Pilgub Jatim 2019. Dari hasil tarot, waktu itu Gatot mengalami kebimbangan karena petunjuk yang ia dapatkan samar-samar. Misal, yang menang, ia sampaikan , hanya terdapat perbedaan tipis dengan calon yang kalah. Saat itu Kenzo menyeletuk, “Aku duganya Khofifah (Khofifah Indar Parawansa, Red) kok yang menang.” Dan terbukti, Khofifah yang berpasangan dengan Emil Dardak menang di Pilgub Jatim 2019. Kemenangan keduanya atas pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur, juga sangat tipis. (is/opi)
Bukan Pemberian Leluhur, Murni Karunia Tuhan

Surabaya – Radar Surabaya tertarik mendatangi komunitas anak indigo. Di sebuah kafe di Jalan Petemon Barat, akhir Juni lalu, akhirnya Radar Surabaya membuka forum dengan Kenzo, Ony, Gatot, dan juga Desi yang tergabung ke dalam Prana Indigo Nusantara.
Gatot, salah saorang pengurus komunitas ini menyampaikan bahwa anak indigo adalah anak-anak yang memiliki aura ungu di sekitarnya. Indigo bukanlah pemberian dari leluhur atau yang biasa orang Jawa kenal dengan ditempeli ilmu, namun murni pemberian Tuhan. Aura ungu inilah yang mebuat anak-anak indigo sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. “Kalau sudah usia seperti kita ini (dua puluh ke atas, Red), bukan lagi dinamakan anak indigo. Melainkan kewaskitaan,” ungkap Gatot.
Ia memaparkan, anak indigo memiliki kemampuan lebih yang tidak dimiliki orang lain. Mereka biasanya lebih peka. Dalam artian bisa melihat hal-hal gaib, introvert dan juga memiliki kecerdasan yang lebih dibandingkan dengan anak lain. “Jadi indigo tidak selalu identik dengan bisa melihat yang gaib saja. Tapi bisa flashback, melihat masa depan, bisa menyembuhkan dan lain sebagainya,” urainya.
Gatot menambahkan, masing-masing anggotanya memiliki kemampuan berbeda. Seperti Kenzo yang memiliki kemampuan scanning atau melihat keberadaan orang, Ony, memiliki kemampuan menyembuhkan luka, dan Gatot yang memiliki kemampuan membaca tarot dan lain sebagainya.
“Kepekaan-kepekaan seperti ini bisa dikembangkan dengan melakukan meditasi dan memperdalam energi kita,” sambung Gatot.
Ia menegaskan, anak indigo sama sekali berbeda dengan dukun. Jika dukun bekerja dengan dibantu sesuatu yang lain dari luar diri, maka anak indigo memiliki kemampuan yang murni mereka peroleh dari Tuhan. Untuk itulah, mereka mendirikan komunitas sebagai wadah bagi orang dengan kemampuan dan pengalaman yang sama, untuk sharing sehingga tidak terjerumus ke dalam hal yang berbau klenik. “Indigo bukan klenik, juga bukan dukun. Kita hanya lebih peka dibanding dengan yang lain,” imbuh Ony.
Komunitas ini sangat aktif melakukan kegiatan. Mereka selalu berkumpul satu minggu dua kali setiap Rabu dan Sabtu untuk sharing pengalaman masing-masing. Memperpeka perasaan dengan meditasi bersama, sowan kepada leluhur dan sempat juga memberikan seminar-seminar kepada orang indigo di Surabaya. “Tak disangka, banyak juga yang tertarik untuk datang melihat seminar kami. Mereka bahkan sampai menangis karena ada komunitas yang sebenarnya sama dengan mereka dan mau berbagi,” ujarnya.
Gatot menambahkan, adanya komunitas ini juga sebagai wadah kepada orang yang memiliki nasib yang sama, agar lebih terarahkan dan tidak mengalami kejadian pahit seperti yang ia alami semasa kecil. “Dulu, waktu kecil saya pahit sekali. Anak indigo kan lebih peka dibanding dengan yang lain. Maka dari itu kami selalu menyampaikan apa pun yang kita rasakan. Ternyata hal itu bagi orang lain dianggap aneh. Beberapa kali kita sempat dianggap gila, beruntung Kenzo memiliki teman berbagi dan ibu yang pengertian, sehingga tak sampai hilang arah seperti saya dulu,” urai Gatot.
Di akhir pertemuan, Desi meminta Gatot untuk memainkan kartu tarotnya. Ia ingin menebak pasangan calon gubernur mana yang akan menang di Pilgub Jatim 2019. Dari hasil tarot, waktu itu Gatot mengalami kebimbangan karena petunjuk yang ia dapatkan samar-samar. Misal, yang menang, ia sampaikan , hanya terdapat perbedaan tipis dengan calon yang kalah. Saat itu Kenzo menyeletuk, “Aku duganya Khofifah (Khofifah Indar Parawansa, Red) kok yang menang.” Dan terbukti, Khofifah yang berpasangan dengan Emil Dardak menang di Pilgub Jatim 2019. Kemenangan keduanya atas pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur, juga sangat tipis. (is/opi)