25 C
Surabaya
Monday, May 29, 2023

Wayang Orang Tionghoa Pernah Berjaya di Kapasari

SURABAYA – Aneka kesenian tradisional Jawa seperti ketoprak, ludruk, hingga wayang orang sangat marak di Surabaya tempo doeloe. Grup-grup kesenian tradisional aktif menggelar pertunjukan baik di dalam maupun luar kota.

Yang menarik, salah satu grup wayang orang di Surabaya pada era 1950-an dan 1960-an beranggotakan seniman dan seniwati keturunan Tionghoa. Perhimpunan Budaja Surabaja (Perbusa), nama grup itu, rutin menggelar pertunjukan di Jalan Kapasari. Dekat kompleks Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang sekarang jadi SMK Farmasi.

“Memang zaman dulu banyak orang Tionghoa yang suka budaya wayang orang. Engkong saya pun punya wayang orang di Pacar Keling. Gedungnya masih ada,” kata Tee Boen Liong, ki dalang keturunan Tionghoa asal Surabaya, Minggu (26/3/2023).

Dalang yang kerap mengisi hajatan sedekah bumi di kampung pecinan Kapasan Dalam ini mengenang, ibundanya dulu pun aktif mengikuti kegiatan bersama Wayang Orang Perbusa. “Mama saya yang bagian nemani pernah ikutan pentas jadi selir 2. Saat itu ada peraga yang tiba-tiba sakit ketika pentas di luar kota,” tutur Boen Liong.

“Tanteku juga ikut perbusa. Engkong yang ajak tante saya belajar di Nelly Ratna Djuwita, selain dari Pak Pagi Petruk, wayang orang di Kapasari. Saya sendiri waktu masih kanak-kanak dulu sejak SD kelas 1 sampai kelas 6 ikut wayang bocah,” tambah dalang yang juga dikenal dengan nama panggung Ki Sabda Sutedja itu.

Baca Juga :  Belajar dari Youtube, Bermodal Tusuk Gigi, Kaya Raya dari Kuras ATM

Majalah Star Weekly edisi 27 Februari 1960 menulis:

“Pang Tjong Ting adalah pengasuh dari Perhimpunan Budaya Surabaya (Perbusa). Perbusa semua pemainnya, termasuk penabuh gamelan, juga pesindennya adalah orang Tionghoa.

Tan Hok Nio adalah pesinden yang berasal dari Konservatori Karawitan Solo. Gadis ini juga pernah tampil menyindeni wayang kulit di Istana Negara Jakarta. Sebagai penari, Lo Sioe Tien mampu memikat hati penonton dalam setiap penampilannya.

Ada lagi nama selain kedua bintang tersebut, yaitu Nelly Ie Kiok Hwa (Ratna Djuwita) yang namanya tak asing lagi dalam setiap penampilan Perbusa. Perbusa juga pernah mengadakan pertunjukan ke berbagai tempat di Indonesia pada bulan Maret tahun 1960.”

Masa kejayaan Perbusa dengan pentas wayang orang serta kesenian tradisional lain di kawasan Kapasari akhirnya surut pasca peristiwa 30 September 1965. Orang-orang Tionghoa mengalami situasi yang sulit di masa awal Orde Baru. Apalagi gedung pertunjukan, sekolah-sekolah Tionghoa, dan aset-aset lain diambil alih oleh pemerintah.

Baca Juga :  Ribuan Warga Tinggalkan Surabaya, Semua Moda Transportasi Dipadati Penumpang

Seniman-seniman Perbusa pun lebih fokus berdagang atau mencari pekerjaan lain agar asap dapur bisa terus mengepul. Sejumlah pertunjukan masih digelar secara sporadis di Gelora Pancasila, Balai Pemuda, dan tempat lain. Namun, Wayang Orang Perbusa tidak lagi seheboh di kawasan Kapasari pada tahun 1960-an.

“Saya punya anggota Perbusa generasi terakhir yang terus eksis di budaya,” kata Boen Liong terharu.

Suasana saat ini sudah jauh berubah dibandingkan era 1990-an, apalagi 1960-an. Seni budaya tradisional seperti wayang orang, ludruk, atau ketoprak, tidak lagi jadi tontonan favorit masyarakat. Meski begitu, Boeng Liong tak pernah menyerah. Dia tetap menghidupkan spirit Perbusa dengan aktif mendalang wayang kulit dan sesekali mengadakan pergelaran wayang orang.

Salah satunya pementasan wayang orang pembauran oleh pada 18 Maret 2023 di Balai Budaya Surabaya. “Puji Tuhan, penonton full sampai selesai,” kata Boen Liong.

Meski ekosistem kesenian di tanah air sudah berubah, Boen Liong optimistis masyarakat akan tetap mengapresiasi seni budaya tradisional seperti wayang kulit, wayang orang, ludruk, atau ketoprak. Saat ini dua keponakan Boen Liong juga aktif dalam berbagai pementasan di Surabaya. (rek)

SURABAYA – Aneka kesenian tradisional Jawa seperti ketoprak, ludruk, hingga wayang orang sangat marak di Surabaya tempo doeloe. Grup-grup kesenian tradisional aktif menggelar pertunjukan baik di dalam maupun luar kota.

Yang menarik, salah satu grup wayang orang di Surabaya pada era 1950-an dan 1960-an beranggotakan seniman dan seniwati keturunan Tionghoa. Perhimpunan Budaja Surabaja (Perbusa), nama grup itu, rutin menggelar pertunjukan di Jalan Kapasari. Dekat kompleks Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang sekarang jadi SMK Farmasi.

“Memang zaman dulu banyak orang Tionghoa yang suka budaya wayang orang. Engkong saya pun punya wayang orang di Pacar Keling. Gedungnya masih ada,” kata Tee Boen Liong, ki dalang keturunan Tionghoa asal Surabaya, Minggu (26/3/2023).

Dalang yang kerap mengisi hajatan sedekah bumi di kampung pecinan Kapasan Dalam ini mengenang, ibundanya dulu pun aktif mengikuti kegiatan bersama Wayang Orang Perbusa. “Mama saya yang bagian nemani pernah ikutan pentas jadi selir 2. Saat itu ada peraga yang tiba-tiba sakit ketika pentas di luar kota,” tutur Boen Liong.

“Tanteku juga ikut perbusa. Engkong yang ajak tante saya belajar di Nelly Ratna Djuwita, selain dari Pak Pagi Petruk, wayang orang di Kapasari. Saya sendiri waktu masih kanak-kanak dulu sejak SD kelas 1 sampai kelas 6 ikut wayang bocah,” tambah dalang yang juga dikenal dengan nama panggung Ki Sabda Sutedja itu.

Baca Juga :  Harumkan Nama Sidoarjo, Ingin Pertahankan Gelar di Kota Delta

Majalah Star Weekly edisi 27 Februari 1960 menulis:

“Pang Tjong Ting adalah pengasuh dari Perhimpunan Budaya Surabaya (Perbusa). Perbusa semua pemainnya, termasuk penabuh gamelan, juga pesindennya adalah orang Tionghoa.

Tan Hok Nio adalah pesinden yang berasal dari Konservatori Karawitan Solo. Gadis ini juga pernah tampil menyindeni wayang kulit di Istana Negara Jakarta. Sebagai penari, Lo Sioe Tien mampu memikat hati penonton dalam setiap penampilannya.

Ada lagi nama selain kedua bintang tersebut, yaitu Nelly Ie Kiok Hwa (Ratna Djuwita) yang namanya tak asing lagi dalam setiap penampilan Perbusa. Perbusa juga pernah mengadakan pertunjukan ke berbagai tempat di Indonesia pada bulan Maret tahun 1960.”

Masa kejayaan Perbusa dengan pentas wayang orang serta kesenian tradisional lain di kawasan Kapasari akhirnya surut pasca peristiwa 30 September 1965. Orang-orang Tionghoa mengalami situasi yang sulit di masa awal Orde Baru. Apalagi gedung pertunjukan, sekolah-sekolah Tionghoa, dan aset-aset lain diambil alih oleh pemerintah.

Baca Juga :  Ribuan Warga Tinggalkan Surabaya, Semua Moda Transportasi Dipadati Penumpang

Seniman-seniman Perbusa pun lebih fokus berdagang atau mencari pekerjaan lain agar asap dapur bisa terus mengepul. Sejumlah pertunjukan masih digelar secara sporadis di Gelora Pancasila, Balai Pemuda, dan tempat lain. Namun, Wayang Orang Perbusa tidak lagi seheboh di kawasan Kapasari pada tahun 1960-an.

“Saya punya anggota Perbusa generasi terakhir yang terus eksis di budaya,” kata Boen Liong terharu.

Suasana saat ini sudah jauh berubah dibandingkan era 1990-an, apalagi 1960-an. Seni budaya tradisional seperti wayang orang, ludruk, atau ketoprak, tidak lagi jadi tontonan favorit masyarakat. Meski begitu, Boeng Liong tak pernah menyerah. Dia tetap menghidupkan spirit Perbusa dengan aktif mendalang wayang kulit dan sesekali mengadakan pergelaran wayang orang.

Salah satunya pementasan wayang orang pembauran oleh pada 18 Maret 2023 di Balai Budaya Surabaya. “Puji Tuhan, penonton full sampai selesai,” kata Boen Liong.

Meski ekosistem kesenian di tanah air sudah berubah, Boen Liong optimistis masyarakat akan tetap mengapresiasi seni budaya tradisional seperti wayang kulit, wayang orang, ludruk, atau ketoprak. Saat ini dua keponakan Boen Liong juga aktif dalam berbagai pementasan di Surabaya. (rek)

Most Read

Berita Terbaru