SURABAYA – Mencegah stunting tidak bisa dilakukan sendiri. Butuh kerja sama erat dan komitmen berbagai pihak agar permasalahan kurang gizi kronis ini bisa diatasi hingga tuntas. Selasa (25/1) diperingati sebagai Hari Gizi Nasional (HGN). Tahun ini tema HGN sangat penting bagi keberlangsungan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, yakni Aksi Bersama Cegah Stunting dan Obesitas.
Nah, stunting menjadi salah satu persoalan penting yang menjadi konsentrasi Eri Cahyadi, wali kota Surabaya. Bagi Eri, untuk menciptakan generasi muda Kota Pahlawan yang berkualitas, harus dimulai sedini mungkin. “Surabaya harus bebas stunting,” tegas Wali Kota Eri dalam sebuah kesempatan.
Berdasarkan catatan Radar Surabaya, angka stunting di Kota Pahlawan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Data pada awal tahun 2021 sebanyak 6.772 balita mengalami stunting. Lalu, pada triwulan IV/2021 menyebutkan, angka kasus stunting di 31 kecamatan di Surabaya turun signifikan hingga 300 persen lebih. Kalau sebelumnya angka stunting sebanyak 5.727 kasus (triwulan I/2021) menjadi 1.785 kasus. Dan di akhir tahun lalu, jumlah itu kembali menyusut hingga tinggal 1.657 balita yang mengalami stunting.
“Surabaya sudah menduduki nomor urut ke-34 dari 38 kabupaten/kota se-Jawa Timur yang angka stuntingnya tertinggi. Padahal, kemarinnya angka stunting di Surabaya menduduki nomor urut ke-3 se-Jawa Timur,” ungkap Eri.
Eri menjelaskan, banyak program yang dilakukan untuk mewujudkan zero stunting di Surabaya di akhir Februari ini. Program tersebut sudah berjalan dan akan terus dilakukan hingga target nol kasus gizi kronis benar-benar terwujud.
Program yang sedang gencar dilakukan saat ini adalah Jagongan Cegah Stunting yang disingkap menjadi Jago Ceting. Program ini merupakan kolborasi antara pemkot bersama Tim Penggerak (TP) PKK Kota Surabaya. “Melalui program itu, pemkot bersama TP PKK menyasar setiap kecamatan dan kelurahan untuk memberikan sosialisasi, termasuk membedah masalah, dan memberikan solusi agar segera dilakukan penanganan yang dibutuhkan,” ungkap mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (bappeko) Surabaya tersebut.
Eri menyebut, penanganan stunting selama tiga bulan terakhir menunjukkan hasil yang signifikan. Jika sebelumnya balita stunting tercatat 5.727 kasus, dalam triwulan terakhir turun menjadi 1.785 kasus. Untuk langkah selanjutnya, pemkot akan memetakan sisa 1.785 kasus stunting di Surabaya tersebut.
“Jadi pada posisi-posisi inilah yang kita lakukan (pemetaan, Red). Dari 1.785 kasus itu, kita pisahkan lagi. Kita sentuh dalam tiga bulan terakhir, maka dalam tiga bulan ke depan (stunting) harus titiknya nol,” harapnya.
Menurut dia, pemetaan dilakukan untuk mengetahui mana warga Surabaya dan non-KTP Surabaya. Termasuk pula warga yang baru pindah ke Surabaya ketika balitanya mengalami gizi buruk atau stunting. Dengan demikian, diharapkan intervensi pemkot menangani kasus balita stunting dapat diprioritaskan. “Kalau ada warga non Surabaya yang pindah KTP Surabaya, maka harus diberi tanda. Ketika dia (balitanya, red) mengalami gizi buruk atau stunting, berarti secara otomatis bukan salah kita,” jelasnya. (ant/ua/opi)