JOGJA – Tak banyak media cetak di era kemerdekaan negeri ini yang masih mampu bertahan hingga di era disruptif seperti saat ini.
Di era bauran media dimana berita sebagai komodoti utama media massa bisa diakses dari mana saja, tantangan media cetak untuk sekadar hidup sangatlah besar. Era tsunami berita di media sosial dan online membuat orang tak lagi bergantung pada media cetak sebagai sumber informasi.
Salah satu koran yang lahir di era perjuangan kemerdekaan RI dan masih eksis hingga saat ini tersebut adalah harian Kedaulatan Rakyat (KR).
Koran yang beralamat di Jalan Pangeran Mangkubumi Jogjakarta itu berdiri tanggal 27 September 1945. Tepat 40 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dideklarasikan oleh duo proklamator Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sabtu pagi (20/7), Serikat Penerbit Surat Kabar atau Serikat Perusahaan Pers (SPS) Jatim berkunjung ke kantor KR yang menempati beberapa bangunan di salah satu jalan utama di Kota Gudeg itu.
Kedatangan pengurus SPS Jatim ini diterima langsung oleh jajaran direksi, komisaris dan pemimpin redaksi surat kabar pertama dan tertua di Jogja itu.
Mereka adalah Komisaris Utama Prof Poppy Inajati, Direktur Umum Yuria Nugroho Samawi, Direktur Marketing Fajar Kusumawardhani, Direktur Keuangan Imam Satriadi dan Pemimpin Redaksi Octo Lampito. Mereka menerima dengan hangat dan penuh nuansa kekeluargaan para pengurus SPS Jatim yang dipimpin Ketua Umum Sukoto dan jajaran pengurus Sudirman, Mudjianto Wijayanto dan Kanti Wiyoto.
Kunjungan SPS Jatim ini untuk bersilaturahmi sekaligus studi banding eksistensi KR Jogja sebagai media cetak tertua di Indonesia yang masih eksis hingga sekarang dengan oplah yang cukup stabil.
“Memang banyak media lokal yang lahir sesudah kami. Tapi yang masih bertahan hingga saat ini ya KR. Ini karena sesuai motto kami bahwa kami yang lebih mengerti Jogja, kami yang lebih tahu Jogja,” kata Pemred KR Octo Lampito.
Memang klaim itu bukan isapan jempol. Octo mengatakan bahwa orang Jogja memang istimewa. Dengan budaya Jawa yang penuh tata krama dan unggah ungguh, warga Jogja sangat menjunjung tinggi adat ketimuran.
“Misalnya untuk berita-berita kritik, kami tidak bisa menurunkan berita yang nyelekit apalagi sampai menyakiti orang lain,” katanya.
Cukup berita kritik yang membuat pihak lain semburat merah di pipi menahan malu, itu sudah cukup. Karena orang Jogja jika sampai tersinggung atau tidak berkenan dengan sesuatu, mungkin mereka akan diam.
Namun di belakang hari, mereka akan memilih meninggalkan hal tersebut alias tidak lagi baca koran. Tentu ini kerugian bagi media yang mengutamakan pembaca sebagai pelanggan dan pihak pemasang iklan.
“Istilahnya di Jogja ini, ngono yo ngono, neng ojo ngono,” tambah Ibu Dhani, panggilan karib Kusumawardhani yang merupakan cucu dari pendiri KR, almarhum Wonohito.
Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal yang mengutamakan pendekatan budaya dan menjunjung tinggi adat ketimuran, maka KR bisa eksis hingga sekarang dan menjaga keterikatan yang kuat dengan pembaca setianya selama bertahun-tahun.
Apalagi, KR didirikan oleh para pejuang kemerdekaan RI di zamannya. Dua pendiri KR yakni Wonohito dan HM Samawi tak hanya berjuang dengan penanya. Keduanya juga ikut mengangkat senjata untuk berperang mengusir penjajah.
Karena itu, cerita Octo yang menulis buku tentang sejarah KR ini, pernah koran ini pamitan kepada pembacanya selama seminggu. “Waktu itu di korannya, pak Won (Wonohito, Red) menulis, “Maaf Kami Tidak Bisa Terbit Selama Seminggu karena Kami Harus Berjuang Mengangkat Senjata,” sebut Octo.
Bahkan saat kedua orang ini harus mendekam di tahanan Belanda karena berita berita perjuangan yang ditulisnya, keduanya masih menulis di potongan-potongan kertas yang ada di penjara untuk diterbitkan di medianya.
Keterkaitan emosi dan budaya yang kuat dengan pembacanya ini yang membuat koran KR bertahan hingga sekarang. Bahkan, koran ini sudah melahirkan banyak media lain seperti Koran Merapi, koran Minggu Pagi, majalah Ultra dan media online KRJogja.com yang juga digemari pembaca.
Dalam silaturahmi yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu, kedua pihak juga berdiskusi dan bertukar pikiran tentang perkembangan media cetak di Jogja dan Jatim, serta kiat-kiat untuk bertahan bagi media cetak di zaman industri 4.0 yang disebut-sebut sebagai era disruptif. Pertemuan yang gayeng ini diakhiri dengan makan siang dan foto bersama. (jay)