SURABAYA – Normalisasi sungai di kawasan konservasi mangrove Wonorejo, Surabaya, menimbulkan masalah. Pasalnya, tanaman pelindung dari abrasi itu terpapras. Bahkan, banyak anakan mangrove yang berada di pinggir sungai mati.
Karena itu, Komisi B DPRD Surabaya meminta dilakukan penghentian sementara dan penanaman ulang (reboisasi) mangrove. “Perlu komunikasi dengan aktivis lingkungan sebelum melanjutkan pengerjaan supaya tidak merusak mangrove,” kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya Anas Karno, Minggu (11/9).
Komisi B sudah memanggil Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Surabaya dan aktivis lingkungan untuk berkoordinasi terkait penghentian sementara normalisasi sungai. Normalisasi tersebut mulai dari Wonorejo hingga Kebon Agung, Medokan Sawah, hingga ke arah laut.
“Menurut mereka (petugas), hal itu sebagai dampak pengerjaan. Mereka berjanji akan melakukan reboisasi pasca pengerjaan,” imbuhnya.
Pihaknya juga mengapresiasi keberadaan Komunitas Nol Sampah yang masih peduli terhadap kelestarian kawasan konservasi hutan mangrove Wonorejo.
Koordinator Komunitas Nol Sampah Hermawan Some mengatakan, seharusnya Pemkot Surabaya melakukan penataan ulang dengan memperhatikan kelestarian mangrove. Apalagi, kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi.
“Sedimen pengerukan tidak serta merta diletakkan di sepanjang bibir sungai yang membuat mati mangrove. Melainkan di tempat di beberapa titik aman, sehingga tidak menimbun mangrove,” kata Wawan, sapaan akrab Hermawan Some.
Dia menyebut kerusakan terparah mangrove di Avour Wonorejo sisi selatan. Ratusan mangrove jenis Rhizophora mucronate, Rhizophora apiculata, dan daruju berusia 2-5 tahun yang tingginya 1-3 meter dicabut dengan alat berat dan ditimbun untuk meninggikan tanggul sungai.
Selain itu, puluhan mangrove jenis Avicenia alba, Alvicenia marina, dan buta-buta dibabat dengan alat berat sehingga mati. Kondisi ini terjadi sekitar 500 meter.
Wawan juga mengingatkan, apabila kembali dilakukan normalisasi sungai harus dilakukan kajian konservasi terlebih dahulu. Sebab, dikhawatirkan berdampak pada habitat lainnya. Selain mangrove, ada juga habitat seperti burung dan juga biota sungai.
“Pengerjaan normalisasi Sungai Wonorejo harus didahului dengan kajian terhadap dampak lingkungan. Kawasan konservasi hutan mangrove dilindungi. Kalau sudah dilakukan kajian, silakan dilakukan normalisasi. Karena hal ini juga untuk mengatasi banjir,” tegas Wawan.
Sekretaris DSDABM Surabaya I Gede Dwija tidak mengelak bahwa mangrove di kawasan tersebut tedampak atas normalisasi sungai. Bahkan, pihaknya sudah berencana menghentikan sementara pengerjaan normalisasi sungai. “Kita akan koordinasi lagi. Dampak pengerjaan memang pilihan yang sulit. Namun, sudah kita rencanakan seminimal mungkin untuk tidak merusak keberadaan mangrove,” tutur Dwija.
Menurut Dwija, normalisasi Sungai Wonorejo dilakukan untuk pencegahan banjir dari hulu. “Case area itu di kawasan Jalan Ahmad Yani dan Margorejo. Kita menangani hulunya di Wonorejo,” terangnya.
Kabid Drainase DSDABM Surabaya Eko Juli Prasetya mengatakan, pengerjaan normalisasi saluran rutin dilakukan sejak Mei 2022 dan berakhir mendekati musim penghujan. Tujuannya untuk mengembalikan lebar sungai seperti keadaan awal. “Pengerukan memang untuk saluran sungai. Artinya, mengembalikan lebar sungai seperti semula. Dulu lebarnya 30 meter, di lapangan sekarang tinggal 20 meter dan yang 10 meter itu ditanami mangrove,” kata Eko.
Eko mengungkapkan, endapan lumpur hasil pengerukan diletakkan di jalan inspeksi sungai yang berada di sisi samping sungai. Namun, jalur inspeksi tersebut ditanami mangrove oleh penggiat lingkungan. Nah, karena sungai dilakukan pelebaran, maka jalur inspeksi seharusnya juga dilebarkan.
“Semakin lebar sungai, maka jalur inspeksi juga akan semakin lebar. Nah, itu ada jalur inspeksi yang ditanami oleh tanaman mangrove. Ketika kita melakukan normalisasi, maka tumbuhan (di jalur inspeksi) tertimbun hasil pengerukan,” ujarnya Eko. (rmt)