Hanya ‘butuh’ waktu lima menit untuk menentukan nasib Jawa Timur (Jatim) lima tahun ke depan. Golput pun tidak akan berarti apa-apa. Gubernur dan wakil gubernur Jatim terpilih nantinya tetap akan dilantik.
BAEHAQI ALMUTOIB-Wartawan Radar Surabaya
Rabu (27/6) nanti, Jatim memiliki hajatan besar. Yaitu mencari pengganti Gubernur Jatim saat ini, Soekarwo, yang bakal habis masa jabatannya di Februari 2019. Ada dua kandadiat calon gubernur dan wakil gubernur Jatim. Nomor urut satu adalah pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak. Sedangkan nomor urut dua adalah pasangan Saifullah Yusuf-Puti Gutur Soekarno.
Komisioner KPU Jatim Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat Gogot Cahyo Baskoro mematok target tinggi untuk angka partisipasi masyarakat menyalurkan suaranya. Sebanyak 77,5 persen dari total daftar pemilih tetap sebesar 30.155.179. “Kalau selama ini di Pilgub Jatim yang pernah digelar, dua kali partisipasinya selalu di bawah 65 persen, kali ini kita punya target dari KPU RI 77,5 persen,” ujar Gogot saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (22/6).
Kendati tidak ditampiknya bahwa sebenarnya target tersebut cukup berat, namun mantan anggota KPU Jember ini optimistis bisa mencapai angka tersebut. Berbagai cara sudah dilakukannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Mulai dari sosialisasi di berbagai segmen pemilih, hingga mengadakan berbagai even. “Pada pelaksanaan pilgub kali ini, juga serentak bersamaan dengan pilkada di 17 kabupaten/kota. Otomatis ada kandidat-kandidat, entah itu pilgub atau pilwali yang juga berlomba untuk menarik animo masyarakat agar datang ke TPS (tempat pemilihan suara, Red). Makanya kami optimislah. Kalau pun tidak sampai 77,5 persen, tapi paling tidak ada peningkatan partisipasi dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.
Diakui Gogot, masih rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya disebabkan banyak hal. Di antaranya adalah faktor administrasi. Gogot menyontohkan, banyaknya jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jatim turut serta mempengaruhi angka partisipasi. Pasalnya, secara administrasi mereka tetap dinyatakan sebagai pemilih. Padahal hasil pendataan KPU Jatim, keluarga telah menyatakan jika para migran ini tidak bisa pulang untuk mencoblos.
“Tapi, mereka tidak bisa kita coret. Karena mereka punya hak pilih,” ungkapnya.
Kemudian, lanjut Gogot, hal yang juga mempengaruhi angka golput yaitu soal pragmatis pemikiran masyarakat. Menurut mantan sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jember tersebut, budaya money politic yang terjadi di tingkat pemilihan kepala desa, masih menancap sampai sekarang.
Di tingkat desa, sikap ini memang tidak dianggap pidana. Tetapi, berbeda di pilgub, pemilu, dan pilkada yang masuk bagian dari pidana. “Nah, ini membuat masyarakat ketika tidak mendapatkan sesuatu, maka dia tidak gunakan hak pilihnya,” ungkap Gogot.
Selanjutnya, problem yang juga menghinggapi sebagian masyarakat adalah sikap acuh. Tipe ini seringkali menghiraukan ketika hari pencoblosan. Mereka tidak mau datang ke TPS dengan alasan tak ingin ribet dan lebih memilih untuk mengurusi hal lain. Seperti bekerja, atau justru memilih berlibur dibandingkan berpartisipasi di Pilgub Jatim.
“Sebenarnya tidak ada kaitannya angka golput dengan legitimasi terpilihnya calon. Di Medan, misalnya. Pilkada kemarin itu partisipasi hanya 26 persen. Tapi, wali kotanya tetap menjabat. Tidak ada masalah. Makanya itu yang harus kita sampaikan ke masyarakat. Berikan pencerahan bahwa golput tidak ada kaitannya. Meskipun golput lebih tinggi dari yang memilih, gubernur dan wakil gubernur terpilih tetap menjabat,” bebernya.
Maka dari itu, di sisa waktu tiga hari sebelum hari pencoblosan, alumni Universitas Negeri Jember ini menambahkan, pihaknya terus melaksanakan sosialisasi. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) digerakkan intens menyampaikan form c6 atau surat pemberitahuan pemungutan suara kepada pemilih. Artinya, mereka datang mendatangi door to door, setiap rumah untuk juga sosialisasi.
Menyampaikan siapakah pasangan calonnya yang akan berkompetisi, bagaimana tata cara kalau ada anggota keluarga yang belum memilih karena tidak memiliki form c6. Pengurusannya agar bisa memilih seperti apa. Lalu, seperti apa mencoblos surat suara yang benar agar tidak rusak surat suaranya. “Sebenarnya tidak ribet menyalurkan suara itu. Tinggal mereka mau atau tidak. Kalau nuruti kemauan, setiap orang pinginnya nyoblos dari kamar masing-masing, kok. Tidak lebih 5 menit (di TPS),” tegasnya.
Dari waktu lima menit di TPS, masyarakat bisa tentukan pilihan. Mana yang menurut mereka rencana kebijakan nanti jika terpilih dari masing-masing pasangan calon, akan sangat mempengaruhi nasib Jatim ke depan. “Yang sebenarnya yang kita sasar itu pemilih pemula dan muda. Keduanya cenderung mencari informasi dengan caranya sendiri. Lha, khawatirnya dia mendapatkan informasi yang sifatnya menyesatkan. Golput siapa takut, golput juga pilihan. Itu sebenarnya yang menakutkan dari proses demokrasi,” tandasnya.