SURABAYA – Parikan sudah dikenal sejak lama, bahkan pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, parikan digunakan sebagai sindiran untuk penjajah. Bahkan, melalui parikan ini pejuang dulu mencoba mengajak masyarakat untuk terus melecut rasa nasionalisme agar tidak terjebak dengan janji penjajah.
Seperti parikan dari Cak Durasim, seniman ludruk Surabaya yang terkenal hingga sekarang “Bekupon omahe doro, Melu Nipon Tambah Soro”.
Lewat parikan ini, saat itu tidak hanya digunakan untuk sekadar permainan kata saja. Melainkan banyak makna tersirat yang berisi berbagai nasihat hingga imbauan. Bahkan, masyarakat Surabaya hingga Madura kala itu banyak yg menggunakan parikan untuk menggambarkan keadaan sekitarnya, termasuk berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap kurang berpihak pada rakyat.
“Parikan membuat siapa saja menjadi peka terhadap keadaan. Parikan ialah seni sastra Nusantara multi dimensi, tidak ada kasta di dalamnya,” kata Pegiat Sejarah Surabaya Nur Setiawan.
Ia mengungkapkan, pantun dan parikan ini berbeda satu sama lain. Meskipun sama-sama memiliki sususan sampiran dan isi serta rima dalam kalimatnya, namun parikan lebih bebas.
Dulu pantun termasuk karya sastra dengan citarasa tinggi yang dibuat oleh pujangga. Namun, parikan lebih bebas. “Parikan ada tunggal dan ganda , temanya bebas. Bahkan tak jarang dibuat secara spontan,” tuturnya. (gun/nur)