SURABAYA – Kasus pandemi terkendali, kinerja ekonomi diproyeksi mulai membaik. Hal ini berdampak pada kinerja industri. Khususnya saat perayaan Imlek tahun ini menjadi berkah untuk pelaku home industry misoa.
Pengelola Home Industri Misoa Jeffry Sutrisno mengatakan, kinerja produksinya meroket jelang Imlek. Dia memproduksi sekitar satu ton tiap hari. Menurutnya, capaian ini tertinggi ketimbang hari normal. “Kalau hari biasa hanya tembus 500-600 kilogram,” ujarnya, Kamis (19/1).
Dia berupaya memenuhi permintaan pasar. Kendati proses produksinya menggunakan mesin tradisional. Namun, menurutnya, kinerja home industry-nya cukup positif. “Itu hasilnya sudah banyak banget untuk mesin tradisional,” jelasnya.
Permintaan produknya tidak hanya di Surabaya, melainkan telah merambah secara nasional. Di antaranya, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan terjauh Papua. “Sementara didominasi di Pulau Jawa. Untuk pasar Sumatera itu ada, tapi distribusinya mengambil dari yang terdekat, yaitu Jakarta,” paparnya.
Tren kinerja industrinya ini cukup positif ketimbang saat pandemi. Saat itu, usahanya cukup terdampak. Katanya, produksinya menurun tajam sekitar 200 sampai 300 kilogram. “Hampir ada pengurangan karyawan. Tapi hal itu kita antisipasi dengan menekan produksi. Karena permintaan di lapangan juga menurun,” urainya.
Industri yang berdiri sejak 1948 itu mempertahankan kualitas. Karena, menurutnya, jika ingin mengejar omzet yang tinggi, otomatis harus meningkatkan hasil produksi. Namun, Jeffry tetap mempertahankan cara tradisional. “Maka perlu menambah jumlah karyawan untuk dapat mengejar targetnya. Tentu karena banyak permintaan konsumen,” katanya.
Kemudian, karena persoalan lahan yang belum memadai. Dengan menggunakan mesin modern perlu lahan yang luas. Minimal panjang area pabrik 70 meter persegi sebagai tempat mesin produksi modern itu. “Ada rencananya untuk ekspansi di wilayah Trosobo, Krian. Tapi kita harus melihat kondisi pasar. Karena kebanyakan distribusinya di Surabaya,” ucapnya.
Untuk sementara, dia membuat produk baru, peluncurannya masih tiga bulan lalu. Produk itu adalah misoa instan. “Memenuhi konsumen yang gemar makan mi pasaran. Jadi ini alternatif baru, di dalamnya juga sudah tersedia bumbu. Cara buatnya persis seperti mi pada umumnya,” terangnya.
Pria generasi ketiga pengelola home industry tersebut mempertahankan produk mi khusus satu wilayah saja, yakni Bojonegoro. Katanya, permintaan mi di sana cukup positif. Karena, produknya menjadi salah satu pilihan hantaran dalam tradisi bermasyarakat di sana.
“Kenapa hanya di Bojonegoro, karena lagi-lagi kita bisa kewalahan kalau permintaannya tinggi tidak sebanding dengan hasil produksi kita. Saya belum bisa memenuhi wilayah Tuban, Surabaya, dan sekitarnya. Jadi kita memasok satu wilayah saja,” imbuhnya. (hil/nur)