SURABAYA – Industri migas saat ini tengah menghadapi berbagai macam tantangan. Salah satu tantangan itu adalah krisis di Eropa yang dipicu perang antara dua negara pengendali migas, Rusia dan Ukraina.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, krisis geopolitik Rusia-Ukraina yang memicu sanksi dari Uni Eropa dan AS terhadap Rusia menyebabkan terganggunya faktor fundamental supply-demand. OPEC pun berupaya untuk mengendalikan produksi untuk menyeimbangkan permintaan dan harga minyak dunia.
“Namun resesi global berpotensi menurunkan tingkat permintaan global. Bank sentral beberapa negara yang akan menaikkan suku bunga berpotensi menyebabkan perlambatan ekonomi global,” ungkap Komaidi dalam diskusi media bersama Petronas dan SKK Migas Jabanusa di Surabaya, Rabu (9/11).
Sementara itu, lanjut dia, banyak potensi migas di Indonesia yang perlu mendapat perhatian. Terhitung sejak akhir 2021, terdapat 128 basin. 68 di antaranya un-drilled atau belum dibor. Cadangan produksi lapangan migas di Indonesia tercatat 2.44 BBO and 43.6 TCF, berdasarkan data 19 Januari 2021.
“Sekitar 70 persen wilayah kerja migas produksi telah mengalami penurunan produksi alamiah. Sementara biaya produksi dan pemeliharaan mature fields terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya,” urainya.
Riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature fields dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata 30 tahun. Saat ini sekitar 52 persen atau 40 WK migas produksi merupakan mature fields. Sebanyak 36 WK berumur 25-50 tahun dan 4 WK berumur lebih dari 50 tahun.
“Perbaikan fiskal dan insentif masih diperlukan untuk meningkatkan investasi migas ke depan dalam mencapai target 1 Juta BOPD Minyak dan 12 BCFD Gas di tahun 2030,” kata Komaidi. Namun ternyata iklim investasi migas di Indonesia dianggap kurang menarik.
Indeks Kemudahan Melakukan Bisnis 2020 yang dirilis World Bank menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 190 negara, dan Malaysia di peringkat 12, Meksiko 60, Brazil 124, Nigeria 132, dan Venezuela 188. Survei Fraser Institute Global Petroleum 2018 menempatkan Indonesia di 10 jurisdiksi yang paling tidak menarik untuk investasi, yakni peringkat ke 71 dari 80 jurisdiksi, di bawah Nigeria.
Dalam kondisi seperti ini peran pers menjadi sangat krusial. Media massa berperan penting memberikan citra positif terhadap industri migas Indonesia. Media massa bisa dikatakan jendela atau etalase informasi bagi dunia untuk melihat bagaimana industri migas berjalan selama ini.
President Director Petronas Indonesia Yuzaini Md Yusof mengatakan diskusi media diadakan dengan tujuan memperkuat silaturahmi yang telah terjalin. “Selain itu untuk mengapresiasi kerja keras dari rekan-rekan media sebagai mitra dari industri hulu migas dalam penyampaian informasi mengenai kegiatan bisnis secara faktual, andal, nyata, dan lugas,” katanya.
Petronas sudah memperoleh manfaat dari relasi kerja sama yang baik dengan media massa. Terdapat sekitar 50 topik pemberitaan mengenai kegiatan Petronas di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir. “Pada tahun ini, terdapat beberapa pencapaian bisnis Petronas Indonesia yang diliput oleh media baik dalam skala nasional maupun lokal,” kata Yusof.
Indra Zulkarnain, Kepala Departemen Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Wilayah Jawa Bali dan Nusa Tenggara (SKK Migas Jabanusa) menambahkan pihaknya mendorong semua pihak, terutama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk senantiasa menjalin hubungan mutualisme dengan media massa.
“Kami butuh media agar masyarakat mengetahui kinerja kami. Masyarakat harus tahu keberhasilan KKKS adalah keberhasilan semua stakeholder dengan target 1 juta barrel per hari. Kami butuh media untuk memberitakan kami secara positif,” kata Indra.
SKK Migas Jabanusa melakukan pemantauan terhadap pemberitaan media massa setiap hari. “Alhamdulillah, berita negatif kurang dari 2 persen. Kami sangat mengucapkan terimakasih atas dukungannya media,” sambungnya.
Menurut Indra, ke depan banyak ikhtiar menguatkan energi terbarukan. “Tapi kita belum.bisa meninggalkan energi fosil. DEN menyebutkan kebutuhan terus naik gas naik 300 persen, minyak naik 105 persen,” ujar Indra. (opi)